5 Negara Maju Ini Pernah Alami Krisis Moneter Terburuk dalam Sejarah

Read Time:3 Minute, 9 Second

JAKARTA – Krisis mata uang terparah tidak hanya menimpa negara berkembang, namun juga negara maju. Ada banyak penyebab terjadinya krisis mata uang atau krisis keuangan di negara maju, baik faktor internal maupun eksternal.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa negara-negara maju telah mengalami krisis mata uang yang paling serius. Dampaknya bersifat relatif terhadap masing-masing negara, dengan beberapa negara mengalami devaluasi mata uang, pengangguran, atau bahkan gagal bayar. Berikut daftar negara maju yang pernah mengalami krisis mata uang atau keuangan: 1. Rusia

Krisis keuangan Rusia, juga dikenal sebagai krisis rubel, dimulai pada pertengahan Agustus 1998.

Krisis ini berdampak serius terhadap perekonomian banyak negara tetangga, termasuk Lituania, Latvia, Estonia, Belarus, Kazakhstan, Moldova, Ukraina, dan Uzbekistan. Salah satu alasannya adalah pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai investasi dalam negeri. Ketika dia tidak mampu membayar kembali pinjamannya, rubel terpaksa mengalami devaluasi. 2. Amerika Serikat

Pada tahun 2007-2008, negara adidaya tersebut mengalami krisis mata uang atau keuangan yang dikenal dengan krisis subprime. Krisis ini merupakan yang terburuk sejak Depresi Besar tahun 1929-1939.

Dampak krisis tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, namun juga menimbulkan kekacauan di pasar keuangan global. Akibat krisis ini, Lehman Brothers, salah satu raksasa keuangan dunia, terpuruk. Lehman Brothers menderita kerugian hingga $60 miliar karena risiko di pasar subprime mortgage.

Pasar keuangan dunia juga dilanda kepanikan, Dow Jones ditutup pada 504,48 poin. Pasar saham AS anjlok tajam, dengan kerugian akibat krisis tahun 2007-2009 mencapai $8 triliun. Krisis mata uang juga menyebabkan pengangguran terus meningkat hingga mencapai 10% pada bulan Oktober 2009. Yunani

Krisis keuangan yang terjadi di Yunani pada tahun 2010 merupakan dampak dari krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan disambut baik oleh situasi keuangan di negara tersebut. Salah satunya adalah defisit anggaran kumulatif sebesar 6% selama 30 tahun.

Selain itu, negara ini telah mengadopsi kebijakan moneter yang sama seperti negara-negara Eropa lainnya. Akibat krisis ini, Yunani gagal membayar kembali kewajiban utangnya pada saat jatuh tempo. Pada tahun 2012, Yunani dinyatakan bangkrut karena utang yang belum dibayar sebesar $138 miliar. Untungnya, Yunani kemudian menerima bantuan sebesar US$160 miliar dari Dana Moneter Internasional dan Eropa4. Swedia

Krisis keuangan Swedia terjadi antara tahun 1990 dan 1994. Untuk menenangkan kekhawatiran, pemerintah Swedia mengumumkan bahwa negara akan memberikan jaminan untuk semua simpanan bank dan kreditur dari 114 bank.

Pemerintah Swedia memutuskan bahwa kredit macet bank harus dicatat sebagai kerugian dan menerbitkan hak kepemilikan (saham biasa) kepada pemerintah. Pemegang saham bank-bank besar yang tersisa terdilusi akibat rekapitalisasi swasta (artinya mereka menjual sahamnya kepada investor baru).

Dua bank terbesar di Swedia, Nordbanken dan Gotabanken, menerima dukungan keuangan dan dinasionalisasi dengan biaya 64 miliar kronor. Piutang tak tertagih perusahaan dialihkan ke manajer aset Securum dan Retriva, yang menjual aset bank (terutama real estat) sebagai jaminan atas utang tersebut. Orang Spanyol

Krisis keuangan Spanyol terjadi pada tahun 2008 hingga 2014. Krisis yang terjadi di Negeri Matador ini dikenal juga dengan sebutan Spanish Great Recession atau Depresi Spanyol. Krisis ini dimulai pada tahun 2008, saat krisis keuangan dunia tahun 2007-2008.

Pada tahun 2012, Spanyol tidak mampu menyelamatkan sektor keuangannya di tengah krisis utang negara Eropa dan harus mengajukan rencana dana talangan sebesar 100 miliar euro ke Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM).

Penyebab utama krisis Spanyol adalah gelembung real estate dan tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi dan tidak berkelanjutan. Meskipun terdapat pertumbuhan belanja yang kuat hingga tahun 2007, pendapatan pajak yang lebih tinggi dari industri konstruksi dan peningkatan investasi real estat membuat pendapatan pemerintah Spanyol tetap surplus.

Bank-bank Spanyol melanggar standar Dewan Standar Akuntansi Internasional. Bank-bank Spanyol mampu menyembunyikan kerugian dan fluktuasi keuntungan, menipu regulator, analis dan investor, sehingga mendanai gelembung real estate Spanyol.

Krisis ini berdampak buruk bagi Spanyol, termasuk resesi ekonomi yang parah, peningkatan tajam angka pengangguran, dan kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar. Presiden Raisi mengancam akan menghancurkan Israel jika berani menyerang Iran. robbanipress.co.id.co.id 24 April 2024

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Infinix Boyong Deretan Produk IoT, Jam Pintar, TWS, hingga Powerbank
Next post Prabowo Subianto Menang Pilpres 2024, Investor Khawatir